"Segala keterpurukan yang aku alami dalam hidupku, segala kesulitan dan rintanganku, telah memperkuatku. Anda mungkin tidak menyadarinya ketika hal tersebut terjadi, akan tetapi tendangan pada gigi bisa jadi merupakan hal terbaik di dunia untuk anda" Walt Disney
Senin, 20 April 2015
Menikmati Hidup
Oleh Andrie Wongso
Seorang dosen memberikan kuliah tentang manajemen stres. Ia mengangkat sebuah gelas berisikan air dan bertanya pada mahasiswanya, ”Menurut kalian, berapa berat air dalam gelas ini?”
Setiap mahasiswa menyebutkan angka yang berbeda-beda.
Lalu sang dosen berkata lagi, ”Berapa berat yang pasti tidaklah penting. Karena hal itu bergantung pada berapa lama kita memegangnya. Jika saya memegangnya selama semenit, tidak masalah. Kalau saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan kram. Dan jika saya memegangnya seharian, mungkin saya harus dibawa ke rumah sakit. Padahal beratnya sama saja, tapi semakin lama kita memegangnya, gelas air itu akan terasa semakin berat.
”Begitu pula dalam hidup ini. Jika kita menanggung beban-beban hidup (bisa berupa kekecewaan, kegagalan, kekalahan, kesedihan, dukacita, dll) sepanjang waktu, cepat atau lambat, kita tidak akan mampu bertahan. Karena beban itu lama-kelamaan akan makin terasa berat. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menaruh gelasnya, beristirahat sebentar sebelum kembali memegangnya.”
Sama halnya dengan gelas air tersebut, kita perlu meletakkan beban-beban hidup kita pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita bisa merasa segar lagi dan mampu mengangkat beban itu kembali.
Jadi, sebelum kita pulang ke rumah dari pekerjaan atau segala aktivitas kita selama seharian penuh, letakkan sejenak beban kerja dan hidup kita. Jangan membawa beban itu ke dalam rumah. Tinggalkan itu di luar rumah. Esok pagi, saat tubuh kita sudah terasa segar kembali, kita bisa mengambil beban itu lagi.
Cobalah untuk beristirahat dan bersantai. Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup.
Setiap mahasiswa menyebutkan angka yang berbeda-beda.
Lalu sang dosen berkata lagi, ”Berapa berat yang pasti tidaklah penting. Karena hal itu bergantung pada berapa lama kita memegangnya. Jika saya memegangnya selama semenit, tidak masalah. Kalau saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan kram. Dan jika saya memegangnya seharian, mungkin saya harus dibawa ke rumah sakit. Padahal beratnya sama saja, tapi semakin lama kita memegangnya, gelas air itu akan terasa semakin berat.
”Begitu pula dalam hidup ini. Jika kita menanggung beban-beban hidup (bisa berupa kekecewaan, kegagalan, kekalahan, kesedihan, dukacita, dll) sepanjang waktu, cepat atau lambat, kita tidak akan mampu bertahan. Karena beban itu lama-kelamaan akan makin terasa berat. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menaruh gelasnya, beristirahat sebentar sebelum kembali memegangnya.”
Sama halnya dengan gelas air tersebut, kita perlu meletakkan beban-beban hidup kita pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita bisa merasa segar lagi dan mampu mengangkat beban itu kembali.
Jadi, sebelum kita pulang ke rumah dari pekerjaan atau segala aktivitas kita selama seharian penuh, letakkan sejenak beban kerja dan hidup kita. Jangan membawa beban itu ke dalam rumah. Tinggalkan itu di luar rumah. Esok pagi, saat tubuh kita sudah terasa segar kembali, kita bisa mengambil beban itu lagi.
Cobalah untuk beristirahat dan bersantai. Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup.
Mangkuk yang Cacat
Oleh Andrie Wongso
Alkisah, ada seorang anak muda pergi ke sebuah toko untuk membeli sebuah mangkuk. Sesampainya di toko, dia mengambil sebuah mangkuk dan kemudian dengan lembut membenturkannya dengan mangkuk yang lainnya. Ketika kedua mangkuk itu saling bersentuhan, terdengar suara yang sumbang. Ia mengulangi menyentuhkan mangkuk di tangannya berulang kali ke mangkuk-mangkuk lainnya. Hasilnya sama, perpaduan suara yang terdengar sumbang di telinga. Dengan kecewa dia mencari pemilik toko dan menyampaikan kekecewaannya sambil meletakkan mangkuk itu ke tempat semula.
Pemilik toko dengan sabar bertanya, “Anak muda, untuk apa membenturkan mangkuk itu dengan mangkuk yang lain?”
Si Pemuda menjawab, “ Saya diajarkan oleh sesepuh, ketika sebuah mangkuk dibenturkan dengan lembut ke mangkuk yang lain dan mengeluarkan suara yang jernih dan merdu maka itu barulah sebuah mangkuk yang bagus dan pantas dibeli."
Setelah mengamati mangkuk yang tadi dipegang si anak muda, sambil tersenyum pemilik toko mengambil mangkuk yang lain dan memberikannya kepada si pemuda, “Ambillah mangkuk ini dan cobalah sekali lagi benturkan dengan mangkuk yang lain, pasti kamu akan menemukan mangkuk yang kamu sukai."
Setengah percaya, si pemuda melakukan apa yang diminta. Aneh! Semua mangkuk yang ia benturkan mengeluarkan suara yang jernih. Ia tidak mengerti mengapa hal itu tersebut bisa terjadi.
Pemilik toko tertawa melihat roman muka heran si pemuda, “Hahaha....jangan terlalu merasa aneh.. sebenarnya alasannya sangat sederhana. Mangkuk yang kamu ambil tadi adalahmangkuk yang cacat. Maka ketika kamu benturkan dengan mangkuk yang lain, yang mana pun, pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Maka pastikan dulu mangkuk yang ada di tanganmu adalah mangkuk yang bagus, tidak cacat untuk mengukur mangkuk yang lain cacat atau tidak."
Setiap manusia memiliki sebuah mangkuk di dalam diri yakni jiwa, hati dan pikiran. Jika mangkuk itu berisi kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, kejujuran dan hal-hal positif lainnya, maka saat berbenturan dengan mangkuk yang tidak cacat, maka akan memunculkan ‘suara’ yang jernih dan merdu. Di antara mereka akan timbul kepercayaan, tidak saling menyakiti, rendah hati dan saling menghormati. Sebaliknya, jika mangkuk itu cacat, dengan sendirinya suara sumbang akan terjadi berupa rasa iri, dengki, benci, curiga dan mental negatif lainnya.
Mari penuhi mangkuk hati kita dengan hal-hal positif, yang pasti akan membawa hasil positif juga kelak di kemudian hari.
Pemilik toko dengan sabar bertanya, “Anak muda, untuk apa membenturkan mangkuk itu dengan mangkuk yang lain?”
Si Pemuda menjawab, “ Saya diajarkan oleh sesepuh, ketika sebuah mangkuk dibenturkan dengan lembut ke mangkuk yang lain dan mengeluarkan suara yang jernih dan merdu maka itu barulah sebuah mangkuk yang bagus dan pantas dibeli."
Setelah mengamati mangkuk yang tadi dipegang si anak muda, sambil tersenyum pemilik toko mengambil mangkuk yang lain dan memberikannya kepada si pemuda, “Ambillah mangkuk ini dan cobalah sekali lagi benturkan dengan mangkuk yang lain, pasti kamu akan menemukan mangkuk yang kamu sukai."
Setengah percaya, si pemuda melakukan apa yang diminta. Aneh! Semua mangkuk yang ia benturkan mengeluarkan suara yang jernih. Ia tidak mengerti mengapa hal itu tersebut bisa terjadi.
Pemilik toko tertawa melihat roman muka heran si pemuda, “Hahaha....jangan terlalu merasa aneh.. sebenarnya alasannya sangat sederhana. Mangkuk yang kamu ambil tadi adalahmangkuk yang cacat. Maka ketika kamu benturkan dengan mangkuk yang lain, yang mana pun, pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Maka pastikan dulu mangkuk yang ada di tanganmu adalah mangkuk yang bagus, tidak cacat untuk mengukur mangkuk yang lain cacat atau tidak."
Setiap manusia memiliki sebuah mangkuk di dalam diri yakni jiwa, hati dan pikiran. Jika mangkuk itu berisi kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, kejujuran dan hal-hal positif lainnya, maka saat berbenturan dengan mangkuk yang tidak cacat, maka akan memunculkan ‘suara’ yang jernih dan merdu. Di antara mereka akan timbul kepercayaan, tidak saling menyakiti, rendah hati dan saling menghormati. Sebaliknya, jika mangkuk itu cacat, dengan sendirinya suara sumbang akan terjadi berupa rasa iri, dengki, benci, curiga dan mental negatif lainnya.
Mari penuhi mangkuk hati kita dengan hal-hal positif, yang pasti akan membawa hasil positif juga kelak di kemudian hari.
Kisah Sebatang Pensil
Si anak lelaki memandangi neneknya yang sedang menulis surat, lalu bertanya, “Apakah Nenek sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita ini tentang aku?”
Sang nenek berhenti menulis surat dan berkata kepada cucunya, “Nenek memang sedang menulis tentang dirimu, sebenarnya, tetapi ada yang lebih penting daripada kata – kata yang sedang Nenek tulis, yakni pensil yang Nenek gunakan. Mudah – mudahan kau menjadi seperti pensil ini, kalau kau sudah dewasa nanti.”
Si anak lelaki merasa heran, diamatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja.
“Tapi pensil itu sama saja dengan pensil – pensil lain yang pernah kulihat!”
“Itu tergantung bagaimana kau memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kau berhasil menerapkannya, kau akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.”
Pertama : Kau sanggup melakukan hal – hal yang besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya.
Kedua : Sesekali Nenek mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.
Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan – kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa – apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita lakukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan.
Keempat : Yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu.
Dan yang Kelima : Pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kau lakukan. Kau harus tahu bahwa segala sesuatu yang kau lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusahalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu.
Today motivation
Pasangan Terbaik Itu.. Seperti Sepatu
Pasangan terbaik itu seperti sepatu.
Bentuknya tak persis sama namun serasi.
Saat berjalan terlihat tak kompak tapi tujuannya sama.
Tak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi.
Selalu sederajat tak ada yang lebih rendah atau tinggi.
Bila yang satu hilang yang lain tak memiliki arti.
SEPATU: SEjalan samPAi TUa, hingga maut yang memisahkan.
Langganan:
Postingan (Atom)